MUKADDIMAH
(Dari Penyuting)

Puji dan syukur kita panjatkan ke Hadirat Allah yang telah menyinari kalbu hamba-hamba-Nya yang taqwa dengan kitab-Nya yang kaya akan makna. Dialah Allah yang telah menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk serta rahmat bagi Kaum Mu’minin, dan sebagai penyembuh penyakit ruhani. Saya bersaksi tiada tuhan kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Shalawat sejahtera bagi penutup para Nabi dan rasul yang mulia: Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalaam yang telah menjadi wasilah terbukanya mata yang buta, mendengarnya telinga yang tuli dan membuka qalbu yang tertutup. Dialah Rasulullah yang menjadi wasilah dikeluarkannya manusia dari kegelapan ke sinar cahaya islam. Kesejahteraan ini semoga berlangsung hingga hari bangkit yaomal ba’ts, kepada sanak keluarganya yang suci dan berakhlak tinggi, serta para shahabatnya yang diberi petunjuk dan seluruh pengikutnya,hinggahari kiamat.
Amma ba’du:
 Al-Qur’an adalah lautan kekayaan yang tidak pernah habis-habisnya untuk ditimba. Upaya untuk menggali isi al-Qur’an tidak pernah berhenti dan bahkan makin banyak orang yang berupaya menyelami kedalaman isinya, akan tetapi isi al-Qur’an tidak akan pernah susut sedikitpun. Dari penafsiran al-Qur’an telah lahir berbagai jenis ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an itu sendiri tetap mempesona,penuh dengan berbagai jenis mutumanikan dan mutiara, meretas masa lalu,kini dan masa mendatang, bahkan meretas kehidupan alam baqa.
Al-Qur’an tetap menggugah perasaan para cerdik cendikiawan dan ulul-albab hingga melahirkan pengakuan yang jujur. Al-Qur’an mengandung penjelasan yang berbobot, sehingga makin tumbuh keyakinan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Al-Qur’an  melukiskanya dalam ungkapan:


 نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ.عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ.

Dibawa oleh Ruh terpercaya (Jibril). (Diturunkan) ke dalam kalbumu (Muhammad) supaya engaku memberi penjelasan. Dengan lisan (bahasa) Arab yang jelas.
(Q.S 26 as-Syu’ara: 193-195)

Upaya orang untuk memahami esensi al-Qur’an, dari zaman ke zaman, tidak pernah berhenti. Ada yang menelaah al-Qur’an dari segi keindahan bahasanya, kekayaan kosa katanya, maupun susunan gramatikanya. Ada pula ulama yang mencoba menafsirkan al-Qur’an berdasarkan susunan kata dan kalimat yang terkandung didalamnya. Ada pula ulama yang menelaah al-Qur’an dari sebab-sebab diturunkannya ayat, ada pula yang menggali al-Qur’an untuk mencarilandasan hukum bagi penataan kehidupan, dan ada pula yang lebih menyelami  al-Qur’an untuk menembus keajaiban dan hukum-hukum alam. Ada pula Ulama yang mengangkat asal kejadian manusia dan alam semesta serta hukum-hukum alamiah.
Ilmu apa yang akan mampu merail Kalamullah, yang mampu membuka segala rahasia al-Qur’an? Orang mungkin hanya dapat sampai kepada angan-angan saja meraih kesempurnaan al-Qur’an, akan tetapi siapapun, di mana pun serta kapanpun orang tak akan mampu meraihnya. Allah berfirman dalam al-Qur’an:

قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادٗا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّي لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّي وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدٗا.   

Katakanlah (olehmu Muhammad) sekiranya lauitan dijadikan tintan untuk (menerangkan) kalimat-kalimat Allah (nikmat-Nya, rahasia semesta yang diciptakan oleh-Nya), pasti akan keringlah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Rabbi (dituturkan) sekalipun Kami datangkan (tinta) sebanyak itu lagi.
(Q.Sal-Kahfi: 109)

Semua ilmu memiliki keterbatasan. Al-Qur’an tetap menjadi lautan yang takan pernah terselami kedalaman dan keluasannya, dan ia tetap penuh dengan rahasia yang menuntut upaya menyelaminya sepanjang masa untuk mengelurakan kandungan terpendam yang sangat berharga. Para cerdik cendikiawan tetap teguh berupaya, yang pada akhirnya akan sampai pada ungkapan:

... رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ  ١٩١

... Rabbana, tidaklah Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, hindarkanlah kami dari api neraka
(Q.S Ali Imran: 191)


Siapa kiranya orang yang akan sampai pada titik sempurna? Yang jelas, upaya menimba, menggali, dan menyelami al-Qur’an dengan dasar iman akan mampu meningkatkan iman penelaahnya, hingga sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan mu’jizat abadi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalaam oleh Allah subhanallahuwata’ala Maha Terpuji dan Maha Bijaksana. Dalam rangka penggalian kandungan makna al-Qur’an inilah diupayakan Terjemah Tafsir Qur’an yang sedang Anda telaah ini.
Yang menjadi sumber utama dari Kitab Terjemah Tafsir Qur’an ini adalah Kitab Tafsir Ruhul Bayan,karya Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi, yang hidup pada abad ke 11 – 12 Hijriyah memang benar bahwa Tafsir Qur’an Ruhul Bayan ini termasuk karya klasik, akan tetapi isinya tetap relevan, karena mengangkat tema yang menyangkut pembinaan manusia sepanjang hayat. Pembinaan akhlakul karimah yang digali dari al-Qur’an tidak akan pernah lekang kepanasan dan tidak akan lapuk kehujanan. Cakupanya tidak terpaku pada ruang dan waktu tertentu, akan tetapi jauh menembus kehidupan kini hingga Yaomil qiyamah, bahkan sejak awal dunia dan manusia diciptakan, hingga kehidupan yang abadi. Uraiannya menyentuh kalbu yang dalam dan menuntut upaya yang sungguh dari pembaca untuk memahaminya.
Tidak seluruh bagian dari Tafsir Ruhul Bayan karya Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi ini diterjemahkan mengingat berbagai alasan. Penerjemah dan penyuting memandang bahwa uraian berkenaan dengan tata bahasa dan struktur uraian tafsir suatu ayat,ditiasakan dari naskah ini. Demikian pula pandangan ulama Parsis yang dikutip aslinya oleh Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi,dan ditulis dalambahasa Parsi, disisihkan dari Terjemahan Tafsir ini.
Dalam menafsirkan satu ayat, Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi, kadang-kadang mengawalinya dengan latar belakang historis turunnya ayat (asbabun nuzul), sinonim kata (mutaradifat),atau menampilkan Hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalaam yang menerangkan tafsir ayat tertentu. Kadang-kadang tafsir ayat itu dimulai dengan dialog Rasulullah dengan Malak Jibril penyampai wahyu Allah Subhanallahuwata’ala, atau menjawab pertanyaan para shahabat yang ditujukan kepada Rasulullah shalallahu Alaihi Wasalaam. Kadang-kadang uraian Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi dimulai dengan menampilkan kisah para Nabi dan Rasulyang cukup lengkap, dan kadang-kadang berupa cuplikan dari upaya para Nabi dan Rasul dalam menegakkan Kalimatullah. Kadang-kadang diperkuat oleh pendapat berbagai ulama besar, atau diperkaya oleh perjalanan hidup manusia pilihan dari kaum Shalihin.
Tafsir Qur’an inin kurang banyak menampilkan khazanah syari’at. Dan lebih memfokuskan diri pada telaah hikmah dan aspek filsafinya. Karena itu Tafsir ini memilikikekhasan dalam menampilkan makna ayat, disertakan pula cara-cara mendasar untuk menanam dan membina akhlakul karimah. Perjalanan hidup, wawasan dan gagasan para khalifah serta shahabat Rasulullahseringkali ditampilkan sebagai metode penyajian dan sekaligus materi penyajian dan pendidikan akhlakul karimah.
Dalam Tafsir Qur’an ini sering sekali disebut-sebut nama  Sofyan ats-Tsauri, Abu Yazid al-Busthami, Ibrahim bin Ad-ham, Malik bin Dinar, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafe’I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam al-Ghazali dan tokoh ulama lainnya. Mereka di angkat oleh Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi bukan sekedar menonjolkan ketokohannya, akan tetapi menampilkan khazanah dunia ilmu yang Islami.
Dapatlah diungkapkan salah satu contoh bagaimana Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi mengangkat pengalaman unik Malik bin Dinar ketika berkelana. Malik bin Dinar yang melihat seorang anak sedang bermain-main dengan tanah, ditampilkan dalam dialog yang cukup menarik dan sangat bermakna. Padahal kita pun sudah biasa melihat anak-anak bermain dengan tanah, akan tetapi kita tidak pernah tertarik untuk mengambil pelajaran dan ibarat dari perbuatan anak-anak itu. Pengalaman Malikbin Dinar itu dikisahkan oleh Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi (jilid I:391) sebagai berikut:
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Malik bin Dinar Rahimahullah, melewati anak yang sedang bermain-main dengan tanah. Anak itu sekali menangis, sesekali tertawa-tawa. Melihat perbuatan anak tersebut, Malik bin Dinar ragu, apakah kepada anak seperti itu, ia harus mengucap salam atau tidak. Dorongan hawa nafsu untuk takabur, melarangnya, sehingga terjadilah dialog dalam diri Malik bin Dinar. Bukankah Rasulullah ShalallahuAlaihi Wasalaam pun mengucapkan salaam kepada siapapun, kepada anak-anak, maupun kepada yang dewasa. Akhirnya nafsunya dikalahkan, ia pun mengucapkan salaam kepada anak itu. Dengan sigap anak itu menjawabnya, sambil menyebutkan nama Malik bin Dinar. Malik bin Dinar kaget atas pernyataan anak itu, sehingga terjadilah dialog dengan anak itu:
Malik
Anak

Malik
Anak

Malik
Anak

Malik

Anak

Malik

Anak
:
:

:
:

:
:

:

:

:

:
“ Dari mana engkau ketahui namaku, padahal baru pertama kali kita bertemu?”
“Ruhku telah dipertemukan dengan ruh tuan, di alam malakut. Kita diperkenalkan oleh Yang Maha Hidup, yang tidak akan pernah wafat.”
“Tahukah engkau, nak, apa bedanya antara akal dengan nafsu?”
“Nafsu itulah yang melarangmumengucapkan salaam padaku, sedangkan akal justru menyuruhmu.”
“Apa sebabnya engkau bermain-main dengan tanah?”
“karena aku tahu, bahwa aku diciptakan dari tanah, dan sekali waktu akan dikembalikan ke tanah.”
“Di saat engkau bermain dengan tanah itu, aku tadi melihat, sewaktu-waktu engkau tertawa, dan sewaktu-waktu engkau menangis.”
“Betul sekali.Apabila aku ingat siksa Allah, aku menangis, dan apabila aku ingat akan rahmat Allah, aku tertawa.”
“Wahai anakku, dosa apa gerangan yang telah engkau perbuat, sehingga engkau menangis?”
“Jangan bicara seperti itu. Aku sering memperhatikan Ibuku. Tidak pernah ibuku menyalakan kayu bakar yang besar, sebelum menyalakan yang kecil terlebih dahulu.”
Untuk menemukan makna dari kisah tersebut, diperlukan nalar dan renungan medalam. Sepintas terlintas ada keganjilan dalam pengalaman Malik bin Dinar ini. Akan tetapi apabila kita renungkan lebih dalam, akanlahir berbagai pertanyaan. Siapakah anak itu? Mungkinkah ada anak yang lebih menghayati kehidupan di alam malakut, dibandingkan denganMalik bin Dinar? Mungkinkah pengalaman seperti ini di angkat oleh Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswisebagai strategi pendidikan dalam menanamkan kesadaran akan hari pertanggungjawaban kepada Allah shubhanallahuwata’ala? Apakah pengalaman seperti ini masih relevan dengan kehidupan sekarang ini? Apakah di zaman dahulu, ada orang yang diberi keistimewaan oleh Allah shubhanallahuwata’ala? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Itulah salah satu cara Syeikh Isma’il Haqqi al-Buruswi mengangkat pengalaman-pengalaman istimewa dalam memberikan makna ayat bagi kehidupan.
Semoga Terjemah Qur’an inimenumbuhkan kekuatan iman kita,dan meningkatkan gairah hidup dalam upaya meraih Ridla Allah Subhanallahuwata’ala. Aamiin.


Penyuting,
Bandung 1 Muharam 1416 H / 31 Mei 1995

Comments

Popular posts from this blog

... janganlah kalian menyembunyikan kebenaran ...

... yang ada penyakit dalam hatinya ...